EN / ID
About Supra

Kemitraan Pemerintah-Badan Usaha (KPBU) untuk Pengembangan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Sistem Penyediaan Air Minum di Indonesia

Category: Air
Date: Oct 8th 2025

Kemitraan Pemerintah-Badan Usaha (KPBU) untuk Pengembangan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Sistem Penyediaan Air Minum di Indonesia: Kerangka Regulasi, Metodologi Struktur Pembiayaan, Mekanisme Dukungan Kelayakan (Viability Gap Funding), Matriks Alokasi Risiko, dan Panduan Implementasi untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)



Waktu Baca: 40 menit | Kurs: 1 USD = IDR 16.500 (Oktober 2025)



Sorotan Utama

• Kerangka Regulasi yang Komprehensif: Infrastruktur air minum KPBU di Indonesia diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) 38/2015 tentang KPBU, Peraturan Menteri PUPR 2/2021 tentang PPP air minum, serta instrumen pendukung yang menetapkan prosedur pengadaan, prinsip alokasi risiko, mekanisme dukungan pemerintah termasuk Dukungan Kelayakan (Viability Gap Funding/VGF) hingga 49% biaya proyek, dan kerangka pengelolaan kontrak yang telah terbukti melalui implementasi sukses proyek SPAM Umbulan senilai IDR 4,8 triliun[1]


• Struktur Pembiayaan dan Skala Investasi: Proyek KPBU air minum di Indonesia memerlukan investasi total USD 300-800 per sambungan (IDR 4,95-13,2 juta) untuk skema Build-Operate-Transfer (BOT) komprehensif yang mencakup intake air baku, pipa transmisi, instalasi pengolahan air (IPA), jaringan distribusi, dan sistem operasional selama periode konsesi 25-30 tahun, dengan rasio utang-ekuitas 70:30 hingga 80:20 dan tingkat pengembalian internal (Internal Rate of Return/IRR) berkisar 12-16% yang didukung oleh jaminan pemerintah dan mekanisme availability payment[2]


• Alokasi dan Mitigasi Risiko: Kerangka kontrak KPBU menerapkan matriks alokasi risiko yang canggih dengan mendistribusikan risiko permintaan, risiko tarif, risiko konstruksi, risiko operasional, risiko politik, dan force majeure kepada mitra publik dan swasta, di mana pemerintah menanggung risiko permintaan utama melalui jaminan off-take minimum (80-90% kapasitas terkontrak), mekanisme penyesuaian tarif yang diindeks dengan inflasi dan nilai tukar, serta perlindungan risiko politik melalui Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF) yang mengurangi kebutuhan premi risiko sektor swasta[4]


• Rekam Jejak Implementasi: Indonesia menunjukkan portofolio KPBU air minum yang terus berkembang, termasuk SPAM Umbulan yang melayani 300.000 sambungan dengan kapasitas 4.000 liter/detik (investasi IDR 4,8 triliun), SPAM Jatiluhur Tahap 1 yang menyalurkan 2.000 L/detik (IDR 1,8 triliun), SPAM Semarang Barat dengan kapasitas 300 L/detik, serta proyek dalam tahap pengembangan di Pekanbaru (600 L/detik), Bandar Lampung (500 L/detik), dan Karian-Serpong (4.000 L/detik) dengan total komitmen investasi lebih dari IDR 20 triliun yang memvalidasi kelayakan komersial dan potensi replikasi di berbagai kota di Indonesia[7]



Ringkasan Eksekutif

Kemitraan Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) merupakan modalitas pengadaan strategis yang memungkinkan pemerintah daerah di Indonesia untuk mempercepat pembangunan infrastruktur air minum dalam rangka mengatasi kesenjangan akses yang signifikan dan defisiensi layanan melalui modal swasta, keahlian teknis, dan efisiensi operasional. Indonesia menghadapi tantangan infrastruktur air yang cukup besar, di mana hanya 20,18% populasi yang memiliki akses terhadap layanan air perpipaan menurut statistik PERPAMSI 2023. Sementara itu, perusahaan air minum daerah (PDAM) yang ada mengalami tingkat air tak berekening (non-revenue water) rata-rata 30-40% dan memiliki kapasitas finansial terbatas untuk investasi modal. Skema KPBU memungkinkan pengembangan instalasi pengolahan air (IPA) berskala besar, eksploitasi sumber air baku, pembangunan infrastruktur transmisi, dan perluasan jaringan distribusi melalui pengaturan Build-Operate-Transfer (BOT) yang komprehensif atau serupa, di mana mitra swasta membiayai, membangun, dan mengoperasikan fasilitas selama konsesi 25-30 tahun sebelum mengalihkan aset kepada pemerintah.[1]


Kerangka regulasi untuk PPP air minum Indonesia ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) 38/2015 tentang KPBU yang diamandemen dengan Perpres 15/2019, Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) 2/2021 yang secara khusus mengatur PPP sistem penyediaan air minum, serta instrumen pendukung termasuk peraturan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tentang Viability Gap Funding (VGF) dan jaminan pemerintah yang dikelola oleh Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF). Regulasi-regulasi ini menetapkan prosedur pengadaan yang membedakan proyek tersosialisasi (inisiatif pemerintah) dari proposal tidak diminta (inisiatif sektor swasta), prinsip-prinsip alokasi risiko yang menyeimbangkan kepentingan publik dan swasta, mekanisme dukungan pemerintah termasuk hibah VGF hingga 49% dari biaya proyek untuk proyek yang layak secara finansial namun tidak layak secara komersial, struktur availability payment yang menjamin kepastian pendapatan mitra swasta, serta kerangka pengelolaan kontrak yang melindungi kepentingan kedua belah pihak sepanjang periode konsesi yang panjang. Lebih lanjut, infrastruktur kelembagaan mencakup unit PPP khusus di Kementerian PUPR (SIMPUL KPBU), Kementerian Keuangan (KPBU Kemenkeu), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang menyediakan layanan konsultasi transaksi, dukungan strukturisasi keuangan, dan pendanaan persiapan proyek untuk mempercepat pengembangan proyek.[4]


Sektor KPBU air minum Indonesia menunjukkan rekam jejak implementasi yang terus berkembang, memvalidasi kelayakan komersial dan menetapkan templat replikasi untuk pemerintah kota di seluruh Indonesia. Proyek landmark SPAM Umbulan di Jawa Timur merupakan PPP air terbesar yang beroperasi di Indonesia, melayani 300.000 sambungan di wilayah metropolitan Surabaya dengan kapasitas pengolahan 4.000 liter/detik yang dibangun melalui investasi swasta senilai IDR 4,8 triliun (USD 290 juta) dan konsesi 25 tahun yang dioperasikan oleh PT Pembangunan Perumahan, menyalurkan air olahan kepada PDAM Surya Sembada Surabaya melalui mekanisme availability payment. Demikian pula, SPAM Jatiluhur Tahap 1 menyalurkan kapasitas 2.000 L/detik yang melayani Jakarta, Bekasi, dan Karawang melalui investasi IDR 1,8 triliun, sementara SPAM Semarang Barat menyediakan 300 L/detik melalui pengaturan Build-Own-Operate (BOO). Proyek dalam tahap pengembangan mencakup SPAM Pekanbaru (kapasitas 600 L/detik), SPAM Bandar Lampung (500 L/detik), dan SPAM Karian-Serpong yang ambisius (4.000 L/detik) yang melayani Tangerang dan Jakarta Selatan, secara kolektif mewakili komitmen investasi lebih dari IDR 20 triliun. Analisis komprehensif ini mengkaji kerangka regulasi infrastruktur air KPBU, metodologi strukturisasi keuangan, matriks alokasi risiko, prosedur pengadaan, dan panduan implementasi yang memberikan pedoman praktis bagi pemerintah daerah, perusahaan air minum, pengembang swasta, dan lembaga keuangan untuk pengembangan proyek yang sukses sesuai dengan regulasi Indonesia dan praktik terbaik internasional.[7]


Kerangka Regulasi dan Landasan Hukum untuk PPP Air Minum

Peraturan Presiden (Perpres) 38/2015 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, yang kemudian diamandemen dengan Perpres 15/2019, menetapkan kerangka hukum menyeluruh yang mengatur implementasi KPBU di semua sektor infrastruktur termasuk sistem air minum. Regulasi ini mendefinisikan KPBU sebagai kerjasama antara pemerintah dan badan usaha swasta dalam penyediaan infrastruktur dengan pembagian risiko sesuai kemampuan masing-masing pihak, menetapkan struktur transaksi yang diperbolehkan termasuk pengaturan Build-Operate-Transfer (BOT), Build-Own-Operate (BOO), dan Build-Transfer-Operate (BTO), menetapkan prosedur pengadaan untuk proposal tersosialisasi maupun tidak diminta, mengotorisasi mekanisme dukungan pemerintah termasuk pengadaan lahan, subsidi tarif, dan Viability Gap Funding (VGF), serta menetapkan tanggung jawab kelembagaan lintas kementerian dan pemerintah daerah. Lebih lanjut, regulasi ini mewajibkan persyaratan kajian kelayakan, prinsip-prinsip pengadaan kompetitif yang memastikan value for money, dan kerangka pengelolaan kontrak yang melindungi kepentingan publik sepanjang periode konsesi yang panjang, biasanya 25-30 tahun untuk proyek infrastruktur air.[4]


Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) 2/2021 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Sistem Penyediaan Air Minum memberikan panduan implementasi khusus sektor yang melengkapi Perpres 38/2015 dengan ketentuan detail yang disesuaikan dengan karakteristik infrastruktur air. Peraturan menteri ini mengatur ruang lingkup sistem air minum KPBU yang mencakup eksploitasi air baku, fasilitas pengolahan air (IPA), jaringan transmisi dan distribusi, sistem meter, dan infrastruktur pendukung operasional; menetapkan standar teknis dan persyaratan kinerja di mana kualitas air harus memenuhi standar air minum Indonesia (Permenkes 492/2010) sepanjang periode konsesi; mengatur metodologi studi kelayakan termasuk proyeksi permintaan, pemodelan keuangan, dan evaluasi ekonomi yang spesifik untuk karakteristik sektor air; mendefinisikan peran perusahaan air minum daerah (PDAM) sebagai pihak counterpart kontrak atau entitas pelaksana tergantung pada pengaturan kelembagaan; dan menetapkan mekanisme pengawasan regulasi termasuk pemantauan kinerja dan penegakan kewajiban layanan publik yang memastikan operator swasta mempertahankan kualitas layanan dan aksesibilitas yang konsisten dengan mandat kepentingan publik.[1]


Mekanisme dukungan pemerintah yang krusial untuk kelayakan keuangan proyek KPBU air menerima regulasi rinci melalui instrumen Kementerian Keuangan dan panduan lembaga pelaksana. Viability Gap Funding (VGF - Dukungan Kelayakan) yang diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) menyediakan hibah modal hingga 49% dari biaya konstruksi proyek untuk proyek-proyek yang menunjukkan tingkat pengembalian internal ekonomi (Economic Internal Rate of Return/EIRR) positif yang melebihi tingkat diskonto sosial (biasanya 8-10%) namun IRR finansial yang tidak mencukupi untuk menarik investasi swasta tanpa dukungan. Perhitungan VGF menggunakan analisis kesenjangan Nilai Kini Neto (Net Present Value/NPV) dengan membandingkan IRR yang dibutuhkan (biasanya 12-16% untuk proyek air) terhadap pengembalian finansial dasar dari pendapatan tarif dan arus kas operasional. Selain itu, Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF - PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia) yang didirikan di bawah pengawasan Kementerian Keuangan menyediakan jaminan yang mencakup risiko politik termasuk gagal bayar pembayaran pemerintah, perubahan regulasi yang berdampak negatif terhadap ekonomi proyek, kompensasi pemutusan kontrak, dan kejadian force majeure tertentu dengan biaya jaminan biasanya 0,3-0,8% dari eksposur yang dijamin. Hal ini memberikan perlindungan kepada pemberi pinjaman dan investor ekuitas swasta terhadap risiko kedaulatan, mengurangi biaya pembiayaan 100-200 basis poin sehingga meningkatkan bankabilitas proyek secara keseluruhan.[2]



Instrumen Regulasi Utama yang Mengatur KPBU Air di Indonesia:




Legislasi Utama dan Peraturan Presiden:
• Perpres 38/2015: Kerangka Kerjasama Pemerintah-Swasta (diamandemen Perpres 15/2019)[4]
• PP 122/2015: Tata kelola sistem penyediaan air minum
• UU 17/2019: Pengelolaan sumber daya air
• Perpres 78/2010: Jaminan pemerintah untuk infrastruktur
• Perpres 75/2014: Percepatan infrastruktur prioritas
• Struktur transaksi: BOT, BOO, BTO, dan variasi
• Periode konsesi: 20-30 tahun tipikal untuk proyek air
• Dukungan pemerintah: VGF, jaminan, pengadaan lahan


Peraturan Menteri - Pekerjaan Umum:
• Permen PUPR 2/2021: PPP untuk sistem air minum[1]
• Permen PUPR 18/2021: Pengembangan kelembagaan PDAM
• Standar teknis: SNI 6774:2008 (pengolahan air)
• Kualitas air: Standar Permenkes 492/2010
• Kriteria desain: Kapasitas IPA kisaran tipikal 50-10.000 L/detik
• Cakupan layanan: Target akses universal tahun 2024
• Persyaratan kinerja: Layanan 24/7, kepatuhan kualitas
• Pengawasan regulasi: BPPSPAM (lembaga regulator)


Peraturan Kementerian Keuangan:
• PMK tentang Viability Gap Funding: Dukungan hingga 49% biaya proyek[2]
• PMK tentang Jaminan Pemerintah: Kerangka IIGF
• Kriteria kelayakan: EIRR positif, FIRR tidak mencukupi
• Perhitungan VGF: Metodologi kesenjangan NPV
• Mekanisme pembayaran: Berbasis milestone konstruksi
• Persyaratan pemantauan: Pelaporan progress triwulanan
• Biaya jaminan IIGF: 0,3-0,8% dari eksposur yang dijamin
• Cakupan jaminan: Risiko politik, gagal bayar


Pengadaan dan Pengelolaan Kontrak:
• Proyek tersosialisasi: Tender kompetitif inisiatif pemerintah
• Proposal tidak diminta: Inisiatif sektor swasta (competitive challenge)
• Prakualifikasi: Penilaian kemampuan teknis dan finansial[5]
• Evaluasi penawaran: Merit teknis (60%), tawaran finansial (40%)
• Struktur kontrak: Availability payment atau perjanjian off-take
• Jaminan pelaksanaan: 5-10% nilai kontrak
• Penyelesaian sengketa: Arbitrase (BANI atau internasional)
• Durasi kontrak: 25-30 tahun tipikal infrastruktur air


Kerangka Kelembagaan:
• KPBU Kemenkeu: Unit PPP pusat, layanan konsultasi transaksi
• SIMPUL KPBU (PUPR): Unit PPP sektor untuk proyek air
• Bappenas: Perencanaan nasional dan prioritisasi proyek
• IIGF: Penyedia jaminan pemerintah
• BPPSPAM: Regulator sektor air dan standar[4]
• PT SMI: Perusahaan pembiayaan infrastruktur
• Pemerintah daerah: Entitas pelaksana (PJPK)
• PDAM: Perusahaan air minum daerah (counterpart kontrak)



Prosedur pengadaan membedakan antara proyek tersosialisasi yang diprakarsai oleh pemerintah dan proposal tidak diminta yang berasal dari sektor swasta. Masing-masing mengikuti jalur yang berbeda namun tetap mempertahankan prinsip kompetitif dan tujuan value for money. Pengadaan tersosialisasi dimulai dengan lembaga kontrak pemerintah (PJPK - Penanggung Jawab Proyek Kerjasama), biasanya pemerintah daerah atau PDAM, yang menyelesaikan studi kelayakan untuk menetapkan kelayakan proyek, menyiapkan dokumen transaksi termasuk draf perjanjian konsesi dan spesifikasi tender, melakukan market sounding untuk mengukur minat sektor swasta dan menyempurnakan persyaratan komersial, serta mengeluarkan tender kompetitif dengan prakualifikasi yang menilai kemampuan teknis dan finansial, diikuti dengan pengajuan proposal terperinci dan evaluasi. Sebaliknya, proposal tidak diminta memungkinkan pengembang swasta yang mengidentifikasi peluang untuk mengajukan studi kelayakan dan proposal proyek yang menjalani evaluasi pemerintah. Jika dianggap layak dan selaras dengan prioritas pembangunan, akan memicu proses kompetitif di mana pemrakarsa asli menerima hak pencocokan (biasanya preferensi 10%) terhadap tawaran pesaing, memastikan pengakuan inovator sambil mempertahankan persaingan kompetitif yang meningkatkan nilai bagi pemerintah. Kedua jalur memerlukan penilaian kelayakan komprehensif, justifikasi kepentingan publik, persetujuan regulasi, dan negosiasi kontrak yang memastikan keselarasan antara tujuan kebijakan publik dan pengaturan komersial.[5]


Strukturisasi Keuangan dan Analisis Investasi

Infrastruktur air KPBU memerlukan investasi modal yang substansial, berkisar antara USD 300-800 per sambungan (IDR 4,95-13,2 juta per sambungan) untuk sistem komprehensif yang mencakup fasilitas intake air baku, pipa transmisi (biasanya panjang 10-50 km), instalasi pengolahan air (IPA) dengan kapasitas berkisar 50-4.000 liter/detik, jaringan distribusi, infrastruktur meter, dan sistem pendukung operasional. Skala investasi sangat bervariasi berdasarkan ruang lingkup proyek, karakteristik sumber air, kompleksitas pengolahan, jarak transmisi, dan geografi area layanan. Proyek regional yang lebih besar mencapai skala ekonomi yang mengurangi biaya per unit dibandingkan dengan skema kota yang lebih kecil. Akibatnya, sistem air regional tipikal dengan 300.000 sambungan memerlukan investasi total IDR 1,5-4,0 triliun (USD 90-240 juta) yang mewakili komitmen modal di luar kapasitas fiskal pemerintah kota sehingga memerlukan partisipasi sektor swasta. Komponen investasi meliputi pekerjaan sipil (35-45% dari total), peralatan elektromekanikal (25-35%), pipa transmisi dan distribusi (15-25%), biaya pengembangan proyek dan pembiayaan (5-10%), dan cadangan kontingensi (5-8%) yang memastikan anggaran memadai untuk kebutuhan tak terduga selama periode konstruksi multi-tahun.[7]


Strukturisasi keuangan menggunakan pembiayaan leverage yang mengoptimalkan struktur modal dengan menyeimbangkan utang dan ekuitas sesuai dengan profil risiko proyek dan persyaratan pemberi pinjaman. Proyek KPBU air tipikal mencapai rasio utang-ekuitas 70:30 hingga 80:20 dengan utang senior dari bank komersial, lembaga keuangan pembangunan (Development Finance Institution/DFI), atau pasar obligasi yang menyediakan mayoritas modal dengan biaya yang lebih rendah (tingkat bunga 7-11% Rupiah Indonesia, 5-8% Dolar AS) dibandingkan dengan pengembalian ekuitas (ekspektasi IRR 16-22%). Utang senior biasanya menerima jaminan pembayaran pemerintah atau perlindungan risiko politik IIGF yang mengurangi risiko kredit sehingga memungkinkan harga yang kompetitif dan tenor yang diperpanjang (15-20 tahun) yang sesuai dengan periode generasi pendapatan. Investor ekuitas termasuk perusahaan konstruksi Indonesia, operator air internasional, dana infrastruktur, dan lembaga keuangan menyediakan modal 20-30% yang menyerap risiko lebih tinggi sebagai imbalan pengembalian residual setelah pembayaran utang. Selain itu, utang subordinasi atau pembiayaan mezzanine kadang-kadang mengisi kesenjangan antara utang senior dan ekuitas dengan karakteristik risiko-pengembalian menengah (pengembalian 12-15%) yang meningkatkan efisiensi modal secara keseluruhan. Pembiayaan periode konstruksi menggunakan kapitalisasi bunga atau uang muka availability payment yang memastikan likuiditas memadai untuk pengembangan proyek sebelum generasi pendapatan dimulai.[6]


Mekanisme pendapatan untuk KPBU air Indonesia terutama menggunakan struktur availability payment di mana lembaga kontrak pemerintah (biasanya PDAM atau pemerintah daerah) berkomitmen untuk membeli kapasitas air olahan pada harga satuan yang telah ditentukan (IDR per m³) terlepas dari volume konsumsi aktual. Hal ini memberikan aliran pendapatan yang dapat diprediksi bagi mitra swasta yang penting untuk pembayaran utang dan pengembalian ekuitas, sambil mentransfer risiko permintaan ke sektor publik yang lebih baik posisinya untuk mengelola ketidakpastian volume melalui kebijakan tarif dan perluasan layanan. Tarif availability payment biasanya berkisar IDR 3.000-6.000 per m³ (USD 0,18-0,36 per m³) tergantung pada kompleksitas proyek, persyaratan pengolahan, jarak transmisi, dan intensitas investasi modal. Tarif dihitung melalui model keuangan yang menargetkan IRR yang dibutuhkan mitra swasta (12-16% tipikal) selama periode konsesi dengan penyesuaian berkala yang diindeks dengan inflasi (diukur dengan Indeks Harga Konsumen), pergerakan nilai tukar yang mempengaruhi peralatan dan material impor, dan fluktuasi biaya energi yang berdampak pada biaya operasional. Mekanisme pendapatan alternatif mencakup biaya pengguna langsung di mana operator swasta menagih pelanggan secara langsung, struktur hibrida yang menggabungkan availability payments dengan suplemen berbasis kinerja, atau jaminan off-take minimum (80-90% kapasitas terkontrak) dengan pembagian risiko volume di atas/bawah ambang batas yang menyeimbangkan alokasi risiko antara para pihak.[2]



Contoh Analisis Keuangan: SPAM Regional KPBU 300.000 Sambungan




Parameter Teknis Proyek:
• Cakupan layanan: 300.000 sambungan rumah tangga
• Populasi layanan: 1.200.000 orang (4 orang/sambungan)
• Kapasitas WTP: 2.000 liter/detik (172.800 m³/hari)
• Konsumsi rata-rata: 130 liter/kapita/hari[3]
• Produksi tahunan: 63 juta m³ (kapasitas penuh)
• Utilisasi kapasitas: 75% Tahun 5, meningkat ke 90% Tahun 15
• Sumber air baku: Intake sungai dengan pengolahan konvensional
• Jarak transmisi: 25 km ke titik distribusi


Rincian Investasi Modal:
• Biaya per unit: USD 520 per sambungan
Total investasi proyek: USD 156 juta (IDR 2,574 triliun)[7]
• Intake dan pemompaan air baku: USD 18,7 juta (12%)
• Instalasi pengolahan air (IPA): USD 62,4 juta (40%)
• Pipa transmisi: USD 31,2 juta (20%)
• Jaringan distribusi: USD 23,4 juta (15%)
• Sistem meter dan kontrol: USD 7,8 juta (5%)
• Biaya pengembangan proyek: USD 7,8 juta (5%)
• Cadangan kontingensi: USD 4,7 juta (3%)


Struktur Keuangan:
• Total kebutuhan pembiayaan: USD 156 juta
• Utang senior: USD 109,2 juta (70% dari total)[6]
• Kontribusi ekuitas: USD 46,8 juta (30% dari total)
• Hibah VGF pemerintah: USD 62,4 juta (40% dari investasi)
• Pembiayaan swasta neto: USD 93,6 juta (60% dari investasi)
• Persyaratan utang senior: Bunga 10%, tenor 15 tahun
• Rasio cakupan layanan utang (DSCR): Minimum 1,30x
• Periode konstruksi: 36 bulan


Struktur Pendapatan (Model Availability Payment):
• Kapasitas terkontrak: 2.000 L/detik (63 juta m³/tahun)
• Tarif availability payment: IDR 4.250/m³ (USD 0,258/m³)[2]
• Pendapatan tahunan (kapasitas penuh): IDR 267,8 miliar (USD 16,2 juta)
• Peningkatan pendapatan: 60% Tahun 1 → 90% Tahun 5 → 100% Tahun 10
• Eskalasi tarif: 3,5% tahunan (diindeks IHK)
• Jaminan pembayaran: IIGF atau pemerintah daerah
• Off-taker: PDAM (perusahaan air daerah)
• Jaminan pembayaran: Rekening pendapatan khusus


Biaya Operasional (Tahunan Steady State):
• Biaya kimia: IDR 60,5 miliar (23%)
• Listrik (pemompaan, pengolahan): IDR 78,7 miliar (29%)[8]
• Tenaga kerja dan administrasi: IDR 39,4 miliar (15%)
• Pemeliharaan dan perbaikan: IDR 26,3 miliar (10%)
• Asuransi: IDR 13,1 miliar (5%)
• Biaya pengambilan air baku: IDR 15,7 miliar (6%)
• Cadangan pemeliharaan besar: IDR 23,6 miliar (9%)
• Overhead korporat: IDR 7,9 miliar (3%)
Total OPEX tahunan: IDR 265,2 miliar (USD 16,1 juta)


Metrik Kinerja Keuangan (Konsesi 25 Tahun):
IRR Proyek (sebelum pajak): 13,8%[6]
IRR Ekuitas (setelah pajak): 18,2%
Nilai Kini Neto (NPV, diskon 10%): IDR 285 miliar
• Periode payback: 12 tahun sejak operasi dimulai
• DSCR rata-rata: 1,42x selama tenor utang
• DSCR minimum: 1,28x (Tahun 4 operasi)
• Pembayaran utang: IDR 150-180 miliar tahunan (Tahun 4-18)
• Nilai residual saat penyerahan: IDR 650 miliar (nilai sekarang)


Analisis Ekonomi (Perspektif Pemerintah):
• IRR Ekonomi (EIRR): 16,5% (membenarkan dukungan VGF)
• Investasi publik: IDR 1,03 triliun (VGF 40%)
• Pengadaan publik alternatif: IDR 2,57 triliun (100% anggaran)
• Penghematan fiskal: IDR 1,54 triliun (60% dari biaya proyek)
• Nilai transfer risiko: IDR 380 miliar (risiko konstruksi/operasi)
• Lapangan kerja tercipta: 180 pekerjaan permanen, 1.200 pekerjaan konstruksi[7]
• Ketahanan air: 1,2 juta orang dilayani secara andal
• Value for Money: 22% dibandingkan pengadaan publik



Viability Gap Funding (VGF) merupakan mekanisme dukungan pemerintah yang krusial untuk memungkinkan proyek yang layak secara finansial dengan pengembalian ekonomi positif namun pengembalian komersial yang tidak mencukupi untuk menarik investasi swasta tanpa bantuan. Perhitungan VGF menggunakan metodologi kesenjangan Nilai Kini Neto (Net Present Value/NPV) dengan membandingkan IRR proyek yang dibutuhkan (biasanya 12-16% untuk infrastruktur air) terhadap pengembalian finansial dasar dari availability payments atau tarif pengguna yang diproyeksikan. Jumlah pendanaan dirancang untuk menjembatani perbedaan tersebut, memastikan mitra swasta mencapai pengembalian minimum yang dapat diterima sambil meminimalkan kontribusi fiskal pemerintah. Kelayakan mensyaratkan proyek menunjukkan IRR Ekonomi (EIRR) positif yang melebihi tingkat diskonto sosial (8-10%) yang mengindikasikan kelayakan ekonomi dan justifikasi manfaat publik, namun IRR Finansial (FIRR) di bawah tingkat hurdle sektor swasta karena kendala affordabilitas yang membatasi potensi pendapatan atau periode payback yang panjang yang merupakan karakteristik infrastruktur air. Hibah VGF dibatasi hingga 49% dari biaya konstruksi proyek yang dibayarkan selama fase konstruksi berdasarkan pencapaian milestone, dengan jumlah yang ditentukan melalui penawaran kompetitif di mana penawar menentukan kebutuhan VGF mereka, dengan permintaan VGF terendah mendapat preferensi dalam evaluasi penawaran untuk mendorong harga yang efisien dan value for money.[2]


Alokasi Risiko dan Kerangka Kontraktual

Alokasi risiko merupakan prinsip fundamental PPP yang mendistribusikan risiko proyek antara mitra publik dan swasta sesuai dengan kemampuan masing-masing pihak untuk mengelola, mengendalikan, dan memitigasi kategori risiko spesifik sehingga mengoptimalkan hasil proyek secara keseluruhan. Proyek KPBU air menghadapi berbagai kategori risiko termasuk risiko permintaan (volume konsumsi air berbeda dari proyeksi), risiko tarif (tingkat availability payment atau biaya pengguna tidak mencukupi untuk kelayakan finansial), risiko konstruksi (pembengkakan biaya, keterlambatan jadwal, kekurangan kinerja teknis), risiko operasional (kegagalan peralatan, peningkatan biaya pemeliharaan, ketidakpatuhan kualitas), risiko politik dan regulasi (pelanggaran kontrak, perubahan kebijakan, ekspropriasi), force majeure (bencana alam, pandemi, perang), dan risiko pembiayaan (fluktuasi suku bunga, pergerakan nilai tukar, ketidakmampuan refinancing). Alokasi risiko optimal menugaskan setiap risiko kepada pihak yang paling baik posisinya untuk mengelolanya melalui tindakan pencegahan atau strategi mitigasi, sambil menyediakan mekanisme kompensasi atau bantuan yang sesuai ketika risiko yang dialokasikan terwujud di luar kendali yang wajar.[4]


Risiko permintaan dalam KPBU air Indonesia biasanya dialokasikan terutama kepada pemerintah melalui jaminan off-take minimum (80-90% dari kapasitas terkontrak) atau mekanisme availability payment penuh di mana pemerintah membayar kapasitas terlepas dari utilisasi. Hal ini mengakui bahwa pemerintah kota mengendalikan permintaan melalui kebijakan tarif, perluasan area layanan, dan pengembangan sumber air alternatif, sehingga mitra swasta tidak berada dalam posisi yang baik untuk mengelola ketidakpastian volume. Alokasi ini mengurangi kebutuhan premi risiko mitra swasta sehingga menurunkan biaya proyek secara keseluruhan, meskipun menciptakan eksposur fiskal bagi pemerintah yang memerlukan proyeksi permintaan yang kuat dan perencanaan keuangan untuk memastikan kewajiban pembayaran tetap terjangkau. Akibatnya, studi kelayakan menggunakan proyeksi permintaan yang konservatif dengan analisis sensitivitas yang memeriksa implikasi finansial dari skenario downside, sementara persyaratan kontrak mencakup mekanisme pembagian risiko permintaan di atas ambang batas tertentu (misalnya, jika permintaan aktual melebihi 110% dari proyeksi, pendapatan kelebihan dibagi antara para pihak) yang menyeimbangkan perlindungan dan peluang. Beberapa proyek menggunakan pendekatan hibrida di mana pemerintah menjamin volume minimum (80%) sementara mitra swasta menanggung volume inkremental (80-100%) dengan peluang pendapatan tambahan yang memberi insentif kultivasi permintaan melalui kualitas layanan dan keterlibatan pelanggan.[9]


Alokasi risiko konstruksi menugaskan tanggung jawab kepada mitra swasta untuk pembengkakan biaya, keterlambatan jadwal, dan kekurangan kinerja teknis selama fase desain dan konstruksi, mendorong pelaksanaan proyek yang efisien dan pengerjaan berkualitas melalui kontrak konstruksi turnkey harga tetap dan ganti rugi untuk keterlambatan. Mitra swasta menggunakan kontraktor engineering-procurement-construction (EPC) berpengalaman dengan rekam jejak dalam konstruksi instalasi pengolahan air, mengamankan jaminan pelaksanaan komprehensif dan jaminan perusahaan induk yang melindungi terhadap gagal bayar kontraktor, dan menerapkan program manajemen proyek yang ketat serta jaminan kualitas yang meminimalkan risiko konstruksi. Namun, risiko konstruksi tertentu di luar kendali mitra swasta menerima bantuan termasuk kejadian force majeure (gempa bumi, banjir, pandemi), keterlambatan pemerintah dalam pengadaan lahan atau persetujuan izin, kondisi tanah yang tidak terduga yang berbeda secara material dari investigasi lokasi, dan perubahan hukum yang mempengaruhi biaya proyek dengan mekanisme penyesuaian kontrak yang memberikan perpanjangan jadwal dan/atau kompensasi biaya untuk mempertahankan keseimbangan risiko. Risiko konstruksi paling akut selama periode konstruksi 24-36 bulan dengan cadangan kontingensi tipikal 5-8% yang menyediakan buffer terhadap tekanan biaya moderat, sementara masalah besar memicu prosedur perubahan kontrak yang melibatkan penilaian engineer independen dan resolusi yang dinegosiasikan.[4]



Matriks Alokasi Risiko untuk KPBU Air Indonesia:




Risiko Permintaan dan Pendapatan:
• Risiko volume permintaan: Pemerintah (off-take minimum 80-90%)[9]
• Risiko kecukupan tarif: Pemerintah (penyesuaian availability payment)
• Risiko penagihan: Bersama (kinerja pembayaran PDAM)
• Risiko suplai bersaing: Pemerintah (pengembangan sumber alternatif)
• Perubahan area layanan: Pemerintah (perluasan atau pengurangan)
• Affordabilitas pengguna akhir: Pemerintah (subsidi atau kebijakan tarif)
• Mitigasi: Jaminan pendapatan minimum, formula eskalasi tarif
• Bantuan: Kontrak take-or-pay, jaminan pembayaran pemerintah


Risiko Fase Konstruksi:
• Risiko desain: Mitra swasta (kecukupan teknis)[4]
• Risiko pembengkakan biaya: Mitra swasta (EPC harga tetap)
• Risiko keterlambatan jadwal: Mitra swasta (ganti rugi)
• Kekurangan kinerja: Mitra swasta (jaminan kapasitas/kualitas)
• Keterlambatan pengadaan lahan: Pemerintah (kewajiban penyerahan lokasi)
• Keterlambatan persetujuan izin: Pemerintah (koordinasi regulasi)
• Kondisi tanah tak terduga: Bersama (standar investigasi wajar)
• Mitigasi: Jaminan pelaksanaan, jaminan induk, cadangan kontingensi


Risiko Fase Operasional:
• Risiko biaya operasional: Mitra swasta (insentif efisiensi)
• Kinerja peralatan: Mitra swasta (kewajiban pemeliharaan)[8]
• Risiko kualitas air: Mitra swasta (kepatuhan regulasi)
• Risiko hubungan tenaga kerja: Mitra swasta (manajemen kepegawaian)
• Eskalasi biaya input: Bersama (indeksasi harga energi, kimia)
• Pemeliharaan besar: Mitra swasta (perencanaan biaya siklus hidup)
• Keusangan teknologi: Mitra swasta (kewajiban upgrade)
• Mitigasi: Standar kinerja, pengurangan availability, asuransi


Risiko Politik dan Regulasi:
• Risiko pelanggaran kontrak: Pemerintah (cakupan jaminan IIGF)
• Risiko ekspropriasi: Pemerintah (kewajiban kompensasi)[4]
• Perubahan hukum merugikan: Pemerintah (mekanisme bantuan)
• Pencabutan izin: Pemerintah (stabilitas regulasi)
• Intervensi politik: Pemerintah (kesucian kontrak)
• Perubahan perpajakan: Bersama (pajak tertentu dibekukan)
• Perlakuan diskriminatif: Pemerintah (klausul non-diskriminasi)
• Mitigasi: Jaminan pemerintah, klausul stabilisasi, arbitrase


Risiko Keuangan dan Pasar:
• Risiko suku bunga: Mitra swasta (utang suku bunga tetap lebih disukai)
• Risiko nilai tukar: Bersama (pembagian mata uang lokal/asing)
• Risiko inflasi: Bersama (mekanisme indeksasi IHK)[2]
• Risiko refinancing: Mitra swasta (persetujuan pemberi pinjaman diperlukan)
• Penarikan investor ekuitas: Mitra swasta (kewajiban penggantian)
• Perubahan peringkat kredit: Mitra swasta (covenant keuangan)
• Kondisi pasar modal: Mitra swasta (risiko financial close)
• Mitigasi: Strategi hedging, ketentuan multi-mata uang, hak step-in pemberi pinjaman


Force Majeure dan Kejadian Luar Biasa:
• Bencana alam: Bersama (alokasi hasil asuransi)
• Pandemi/epidemi: Bersama (ketentuan bantuan dan pemutusan)
• Perang/kerusuhan sipil: Bersama (bantuan force majeure)[4]
• Force majeure berkepanjangan: Hak pemutusan (kedua belah pihak)
• Kompensasi: Berdasarkan kesalahan pihak dan hasil asuransi
• Pemulihan layanan: Mitra swasta (upaya wajar)
• Mitigasi: Asuransi komprehensif, cakupan gangguan bisnis
• Bantuan: Perpanjangan jadwal, penggantian biaya, penyesuaian kontrak



Risiko politik dan regulasi mendapat perhatian khusus dalam KPBU Indonesia mengingat periode konsesi yang panjang yang mengekspos proyek ke berbagai siklus pemilu, perubahan kebijakan, dan evolusi regulasi yang berpotensi mempengaruhi ekonomi proyek. Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF) menyediakan instrumen jaminan pemerintah yang mencakup pelanggaran kontrak (kegagalan pemerintah melakukan availability payments), ekspropriasi atau nasionalisasi (penyitaan aset proyek oleh pemerintah), perubahan merugikan dalam hukum (modifikasi regulasi yang secara material mempengaruhi biaya atau pendapatan proyek), dan kejadian intervensi politik tertentu dengan mekanisme kompensasi yang memastikan mitra swasta menerima nilai wajar untuk investasi dan keuntungan yang hilang. Biaya jaminan biasanya berkisar 0,3-0,8% dari eksposur yang dijamin (kewajiban availability payment) yang dibayar oleh pemerintah sebagai penerima manfaat, dengan IIGF mempertahankan portofolio yang terdiversifikasi lintas sektor dan dukungan sovereign yang kuat melalui dukungan Kementerian Keuangan. Selain itu, klausul stabilisasi kontrak membekukan kondisi regulasi tertentu pada saat financial close termasuk perlakuan pajak yang ditentukan, pembebasan bea masuk, dan regulasi sektor, dengan setiap perubahan merugikan memicu kompensasi atau penyesuaian kontrak untuk mempertahankan ekonomi proyek. Ketentuan penyelesaian sengketa menggunakan prosedur eskalasi dari negosiasi itikad baik hingga penentuan ahli independen hingga arbitrase yang mengikat (biasanya melalui BANI - Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau forum internasional seperti SIAC) yang menyediakan forum netral yang melindungi kepentingan kedua belah pihak untuk menghindari keterlambatan litigasi yang mahal.[4]


Studi Kasus Implementasi dan Pembelajaran

SPAM Umbulan merupakan proyek PPP air unggulan Indonesia dan proyek operasional terbesar yang melayani wilayah metropolitan Surabaya dengan kapasitas pengolahan 4.000 liter/detik yang menyalurkan air ke 300.000 sambungan di seluruh Jawa Timur. Proyek dikembangkan melalui proposal tidak diminta dari PT Pembangunan Perumahan (Persero) yang kemudian mengalami competitive challenge sesuai regulasi KPBU, menghasilkan konsesi Build-Operate-Transfer 25 tahun yang memulai operasi pada 2019. Total investasi mencapai IDR 4,8 triliun (USD 290 juta) yang dibiayai melalui utang 70% dari PT SMI (Indonesia Infrastructure Financing) dan bank komersial dengan ekuitas 30% dari mitra swasta, didukung oleh VGF IDR 1,7 triliun (35% dari investasi) yang menjembatani kesenjangan kelayakan. Proyek mengeksploitasi sumber mata air Umbulan dengan hasil berkelanjutan 5.000 L/detik yang memerlukan pengolahan minimal (disinfeksi dan penyesuaian pH), mentransmisikan air 45 km ke PDAM Surya Sembada Surabaya melalui pipa khusus, dan beroperasi di bawah mekanisme availability payment dengan PDAM membeli air olahan pada harga IDR 4.780/m³ yang diindeks dengan inflasi dan biaya energi. Proyek mencapai manfaat substansial termasuk ketahanan air untuk Surabaya yang mengatasi defisit pasokan kronis, layanan andal 24/7 yang menggantikan pasokan terputus-putus, kualitas air tinggi yang memenuhi standar internasional, dan efisiensi operasional dengan uptime sistem 98%+ yang mendemonstrasikan kelayakan model PPP untuk kota-kota Indonesia.[14]


SPAM Jatiluhur Tahap 1 menyalurkan kapasitas 2.000 liter/detik yang melayani Jakarta, Bekasi, dan Karawang melalui investasi IDR 1,8 triliun dengan konsesi 25 tahun yang dioperasikan oleh konsorsium PT Tirta Kencana Cahaya Mandiri. Proyek mengeksploitasi air baku waduk Jatiluhur yang memerlukan pengolahan konvensional termasuk koagulasi, sedimentasi, filtrasi, dan disinfeksi untuk menangani kualitas air sumber yang bervariasi di berbagai kondisi musiman. Distribusi mencakup pipa transmisi 80 km yang menyalurkan ke tiga off-taker PDAM (Jakarta, Bekasi, Karawang) di bawah perjanjian off-take terpisah dengan setiap utilitas. Struktur keuangan menggunakan rasio utang-ekuitas 75:25 dengan dukungan VGF sebesar 30% biaya investasi, mencapai IRR proyek 14,2% dan IRR ekuitas 19,5% yang mendemonstrasikan kelayakan komersial. Beroperasi sejak 2017, proyek menghadapi tantangan awal termasuk keterlambatan pembayaran PDAM yang memerlukan aktivasi jaminan IIGF, peningkatan permintaan yang lebih lambat dari proyeksi yang memerlukan penyesuaian kontrak, dan kompleksitas koordinasi dengan beberapa off-taker yang memerlukan protokol komunikasi yang ditingkatkan. Pembelajaran yang diperoleh menekankan pentingnya off-taker yang kredibel dengan riwayat pembayaran yang kuat, proyeksi permintaan yang realistis yang menghindari asumsi agresif, dan sistem manajemen kontrak yang kuat yang memantau kinerja dan pembayaran untuk mencegah sengketa.[10]


SPAM Semarang Barat menyediakan kapasitas 300 liter/detik melalui pengaturan Build-Own-Operate di mana PT Sarana Tirta Utama beroperasi di bawah model kepemilikan permanen yang menjual air olahan ke PDAM Tirta Moedal Semarang. Investasi proyek berjumlah IDR 385 miliar dengan pembiayaan sepenuhnya swasta (tanpa dukungan VGF) yang mendemonstrasikan bahwa proyek skala kecil dapat mencapai kelayakan komersial tanpa hibah pemerintah di mana tingkat tarif, kepastian permintaan, dan efisiensi operasional mendukung pengembalian yang memadai. Sumber air mengeksploitasi Sungai Kreo dengan instalasi pengolahan konvensional yang terletak di ketinggian 110 meter yang memungkinkan distribusi gravitasi yang mengurangi biaya energi secara signifikan dibandingkan dengan sistem pompa. Struktur proyek menggunakan kontrak take-or-pay dengan PDAM yang menjamin pembelian minimum 250 L/detik (83% kapasitas) yang memberikan kepastian pendapatan, sementara spesifikasi kinerja mensyaratkan ketersediaan 24/7, kualitas air yang memenuhi standar nasional, dan respons cepat terhadap gangguan layanan dengan ganti rugi untuk ketidakpatuhan yang mendorong keunggulan operasional. Beroperasi sejak 2008, proyek mendemonstrasikan kinerja berkelanjutan dengan uptime 99,2%, kualitas air konsisten, dan operasi yang menguntungkan yang memvalidasi penerapan model BOO untuk sistem air perkotaan skala menengah di mana utilitas kota kekurangan modal namun mendemonstrasikan kelayakan kredit yang mendukung investasi swasta.[6]



Ringkasan Portofolio Proyek KPBU Air Indonesia:




Proyek Operasional:
• SPAM Umbulan (Jawa Timur): 4.000 L/detik, 300.000 sambungan, IDR 4,8 triliun[14]
• SPAM Jatiluhur Tahap 1: 2.000 L/detik, Jakarta-Bekasi-Karawang, IDR 1,8 triliun[10]
• SPAM Semarang Barat: 300 L/detik, 75.000 sambungan, IDR 385 miliar[6]
• SPAM Bandar Lampung: 500 L/detik, 120.000 sambungan, IDR 850 miliar[15]
• Kapasitas operasional: 6.800 L/detik total (587.000 m³/hari)
• Cakupan layanan: ~500.000 sambungan (2 juta orang)
• Total investasi: IDR 7,8 triliun (USD 475 juta)
• Kinerja proyek rata-rata: Ketersediaan 97-99%


Dalam Konstruksi:
• SPAM Pekanbaru: 600 L/detik, 150.000 sambungan, IDR 1,2 triliun[7]
• SPAM Karian-Serpong: 4.000 L/detik, 400.000 sambungan, IDR 5,5 triliun
• SPAM Umbulan Tahap 2: Perluasan 1.000 L/detik, IDR 1,5 triliun
• Timeline konstruksi: Penyelesaian diharapkan 2023-2026
• Kapasitas tambahan: 5.600 L/detik (484.000 m³/hari)
• Pipeline investasi: IDR 8,2 triliun (USD 497 juta)
• Lapangan kerja: ~3.500 pekerjaan konstruksi
• Commissioning: Pendekatan bertahap 2025-2027


Tahap Perencanaan/Persiapan:
• SPAM Batam: 800 L/detik, 180.000 sambungan, IDR 1,6 triliun
• SPAM Makassar: 1.200 L/detik, 250.000 sambungan, IDR 2,4 triliun[1]
• SPAM Medan: 1.500 L/detik, 300.000 sambungan, IDR 3,2 triliun
• SPAM Palembang: 600 L/detik, 150.000 sambungan, IDR 1,4 triliun
• Tahap pengembangan: Studi kelayakan, layanan konsultasi transaksi
• Financial close diharapkan: 2025-2027
• Potensi investasi: IDR 8,6 triliun (USD 521 juta)
• Perluasan layanan: ~880.000 sambungan tambahan


Faktor Keberhasilan Proyek:
• Komitmen politik: Dukungan kepemimpinan yang kuat[4]
• Off-taker kredibel: Kesehatan keuangan PDAM
• Permintaan realistis: Proyeksi konsumsi konservatif
• Alokasi risiko tepat: Persyaratan kontraktual seimbang
• Dukungan VGF: Pendanaan kesenjangan kelayakan memadai
• Operator berpengalaman: Rekam jejak dan kapabilitas
• Dukungan pemerintah: Jaminan IIGF, pengadaan lahan
• Keterlibatan stakeholder: Dukungan masyarakat dan regulasi


Indikator Kinerja Utama (Rata-rata Portofolio):
• Ketersediaan sistem: Uptime operasional 97-99%
• Kepatuhan kualitas air: 99%+ sampel memenuhi standar
• Air tak berekening: 8-12% (vs rata-rata PDAM 30-40%)
• Efisiensi energi: Konsumsi spesifik 0,35-0,55 kWh/m³[8]
• Kepuasan pelanggan: Rating positif 85-92%
• Lapangan kerja: 45-60 pekerjaan per 1.000 L/detik kapasitas
• IRR proyek: 12,8-15,5% tercapai vs target 12-16%
• Kepatuhan kontrak: 95-98% standar kinerja terpenuhi



Faktor keberhasilan kritis yang muncul dari pengalaman KPBU air Indonesia meliputi komitmen politik yang kuat dari pemerintah daerah dan manajemen PDAM yang memberikan dukungan berkelanjutan sepanjang periode pengadaan dan konstruksi yang panjang; off-taker yang kredibel dengan kapasitas dan kesediaan pembayaran yang terbukti yang memastikan kepastian pendapatan untuk mitra swasta dan pemberi pinjaman; proyeksi permintaan yang realistis yang menggunakan asumsi konservatif untuk menghindari skenario pertumbuhan agresif yang sering melebih-lebihkan konsumsi; alokasi risiko yang tepat melalui kontrak seimbang yang mendistribusikan risiko sesuai kemampuan manajemen daripada leverage negosiasi; dukungan VGF yang memadai yang menjembatani kesenjangan kelayakan tanpa subsidi pemerintah yang berlebihan; operator swasta berpengalaman dengan rekam jejak pengolahan air dan kehadiran lokal yang memastikan kompetensi teknis; dukungan pemerintah komprehensif termasuk pengadaan lahan, fasilitasi izin, dan jaminan risiko politik; serta keterlibatan stakeholder yang kuat yang membangun dukungan masyarakat dan kerjasama regulasi. Sebaliknya, tantangan umum mencakup kelemahan finansial PDAM yang menciptakan ketidakpastian pembayaran yang memerlukan mekanisme jaminan; kekurangan permintaan dari proyeksi yang terlalu optimis yang memerlukan penyesuaian kontrak; timeline pengadaan yang panjang (3-5 tahun) dari konsepsi proyek hingga financial close yang menguji kesabaran sponsor; koordinasi kompleks dengan berbagai lembaga pemerintah yang menciptakan keterlambatan birokratis; dan oposisi publik terkait kekhawatiran privatisasi yang memerlukan komunikasi hati-hati yang menekankan retensi kepemilikan publik dan tujuan peningkatan layanan.[9]


Spesifikasi Teknis dan Standar Desain

Desain instalasi pengolahan air (IPA) untuk proyek KPBU harus mematuhi standar teknis Indonesia (SNI), praktik terbaik internasional, dan spesifikasi kinerja kontrak yang memastikan produksi air minum yang andal yang memenuhi persyaratan kesehatan dan keamanan. Pemilihan proses pengolahan bergantung pada karakteristik sumber air baku, dengan pengolahan konvensional (koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, disinfeksi) untuk sumber air permukaan yang mengalami kekeruhan, warna, dan kontaminasi biologis yang tipikal untuk sungai dan waduk Indonesia, sementara sumber air tanah atau mata air mungkin hanya memerlukan disinfeksi dan penyesuaian pH minor di mana kualitas sumber secara alami memenuhi standar air minum. Kapasitas desain biasanya diukur untuk proyeksi permintaan horizon 20-25 tahun pada konsumsi harian puncak dengan konstruksi modular yang memungkinkan perluasan bertahap yang sesuai dengan pertumbuhan permintaan sehingga mengurangi investasi modal awal dan biaya pembiayaan. Konfigurasi instalasi pengolahan menggunakan 2-4 jalur pengolahan paralel yang memungkinkan shutdown pemeliharaan sambil mempertahankan kontinuitas layanan, dengan kapasitas jalur individu berkisar 500-2.000 L/detik tergantung pada ukuran instalasi total dan persyaratan redundansi. Akibatnya, instalasi 2.000 L/detik menggunakan empat jalur 500 L/detik atau tiga jalur 650-700 L/detik yang memberikan fleksibilitas dan keandalan operasional.[3]


Standar kualitas air untuk air olahan harus memenuhi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 492/2010 yang menetapkan tingkat kontaminan maksimum untuk parameter fisik, kimia, dan mikrobiologis. Persyaratan utama mencakup kekeruhan di bawah 5 NTU (sebaiknya <1 NTU), sisa klorin 0,2-0,5 mg/L pada titik masuk distribusi dengan mempertahankan minimum 0,1 mg/L pada keran pelanggan, rentang pH 6,5-8,5, total coliform tidak ada dalam 95% sampel tanpa sampel positif berturut-turut, E. coli toleransi nol, dan berbagai parameter kimia termasuk logam, pestisida, dan produk sampingan disinfeksi dalam batas yang ditentukan. Spesifikasi kinerja kontrak biasanya menerapkan target yang lebih ketat daripada minimum regulasi, misalnya kekeruhan <0,5 NTU dan ketiadaan coliform dalam 99% sampel, dengan pengurangan availability (pembayaran berkurang) untuk ketidakpatuhan kualitas yang mendorong kualitas air yang konsisten tinggi. Sistem pemantauan online secara terus menerus mengukur parameter kunci (kekeruhan, klorin, pH) dengan alarm otomatis yang mengingatkan operator tentang penyimpangan proses yang memerlukan tindakan korektif, sementara program pengujian laboratorium komprehensif (jadwal harian, mingguan, bulanan tergantung parameter) memverifikasi kepatuhan dengan rangkaian parameter penuh sesuai persyaratan regulasi.[8]


Efisiensi energi merupakan pendorong biaya operasional signifikan dengan konsumsi listrik untuk proses pemompaan dan pengolahan biasanya merupakan 25-35% dari total biaya operasional. Konsumsi energi spesifik berkisar 0,35-0,75 kWh/m³ tergantung pada elevasi sumber relatif terhadap area layanan, kompleksitas pengolahan, dan persyaratan pemompaan, dengan sistem gravitasi dari sumber elevasi tinggi mencapai konsumsi terendah (0,15-0,30 kWh/m³) dibandingkan dengan sistem yang memerlukan pemompaan air baku dan air olahan (0,50-0,75 kWh/m³). Strategi optimasi energi mencakup variable frequency drives (VFD) pada motor pompa yang memungkinkan penyesuaian kecepatan sesuai permintaan sesaat, motor efisiensi tinggi yang melebihi kelas efisiensi IE3, ukuran pipa optimal yang mengurangi kerugian gesekan, proses pengolahan berbasis gravitasi di mana topografi memungkinkan, dan kontrol proses otomatis yang mengoptimalkan dosis kimia dan siklus backwash untuk meminimalkan limbah. Integrasi energi terbarukan termasuk instalasi PV surya atap semakin melengkapi daya listrik yang mengurangi biaya listrik 15-25% dan meningkatkan kredensial keberlanjutan, dengan beberapa proyek menargetkan operasi netral karbon melalui pasokan energi terbarukan 100% meskipun memerlukan investasi modal tambahan yang dibenarkan melalui analisis biaya siklus hidup.[8]



Pertanyaan yang Sering Diajukan: Infrastruktur Air KPBU di Indonesia




1. Apa itu KPBU dan apa perbedaannya dengan pengadaan publik tradisional?
KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha) adalah Kemitraan Publik-Swasta di mana sektor swasta membiayai, membangun, dan mengoperasikan infrastruktur air selama konsesi 25-30 tahun sebelum mentransfer aset kepada pemerintah. Berbeda dengan pengadaan tradisional di mana pemerintah mendanai dan memiliki sejak awal, KPBU memanfaatkan modal swasta, keahlian teknis, dan efisiensi operasional, dengan pemerintah hanya membayar layanan yang diberikan (availability payments) atau mendukung melalui hibah VGF (biasanya 30-49% dari investasi) daripada 100% modal di muka.[4]


2. Berapa kebutuhan investasi tipikal untuk proyek air KPBU?
Investasi berkisar USD 300-800 per sambungan (IDR 4,95-13,2 juta) untuk sistem komprehensif termasuk intake, instalasi pengolahan, transmisi, dan distribusi. Misalnya, sistem regional 300.000 sambungan memerlukan investasi total IDR 1,5-4,0 triliun (USD 90-240 juta). Biaya bervariasi berdasarkan karakteristik sumber air, kompleksitas pengolahan, jarak transmisi, dan geografi area layanan, dengan proyek lebih besar mencapai skala ekonomi.[7]


3. Mekanisme dukungan pemerintah apa saja yang tersedia?
Dukungan utama mencakup Viability Gap Funding (VGF) yang memberikan hibah modal hingga 49% dari biaya konstruksi untuk proyek yang layak secara finansial namun tidak layak secara komersial, Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF) yang mencakup risiko politik termasuk gagal bayar pembayaran dan perubahan regulasi (biaya 0,3-0,8% dari eksposur), bantuan pengadaan lahan, fasilitasi regulasi, dan komitmen availability payment yang memastikan aliran pendapatan yang dapat diprediksi untuk mitra swasta.[2]


4. Berapa pengembalian finansial tipikal untuk investor swasta?
Proyek KPBU air menargetkan IRR Proyek 12-16% dan IRR Ekuitas 16-22% tergantung pada profil risiko, tingkat dukungan VGF, dan persyaratan kontrak. Rasio utang-ekuitas biasanya 70:30 hingga 80:20 dengan utang senior pada bunga 7-11% (IDR) dan tenor 15-20 tahun. Pengembalian mengompensasi risiko konstruksi, operasional, dan politik sambil tetap di bawah biaya pengguna utilitas untuk memastikan affordabilitas. Pengembalian aktual yang dicapai pada proyek operasional berkisar IRR Proyek 12,8-15,5% yang memvalidasi kelayakan komersial.[6]


5. Berapa lama proses pengadaan KPBU?
Proyek tersosialisasi memerlukan 24-36 bulan dari inisiasi proyek hingga financial close termasuk 6-9 bulan studi kelayakan, 3-6 bulan strukturisasi transaksi, 6-9 bulan pengadaan (prakualifikasi, tender, evaluasi), dan 6-12 bulan negosiasi kontrak dan financial close. Proposal tidak diminta menambah 6-12 bulan untuk evaluasi pemerintah dan proses competitive challenge. Periode konstruksi menambah 24-36 bulan sebelum operasi dimulai, total 4-6 tahun dari konsep hingga penyaluran layanan.[5]


6. Risiko apa yang ditahan pemerintah dalam pengaturan KPBU?
Pemerintah terutama menahan risiko permintaan (ketidakpastian volume konsumsi) melalui jaminan off-take minimum atau availability payments penuh, risiko tarif yang memastikan pembayaran mencakup biaya dan pengembalian mitra swasta, risiko politik dan regulasi termasuk perubahan kebijakan yang mempengaruhi ekonomi, dan kejadian force majeure tertentu. Risiko konstruksi dan operasional ditransfer ke mitra swasta yang mendorong pelaksanaan dan kinerja yang efisien. Alokasi risiko menyeimbangkan kemampuan setiap pihak untuk mengelola risiko spesifik sehingga mengoptimalkan hasil proyek.[9]


7. Bagaimana availability payments dihitung dan disesuaikan?
Availability payments biasanya IDR 3.000-6.000 per m³ (USD 0,18-0,36) dihitung melalui model keuangan yang menargetkan IRR yang dibutuhkan mitra swasta selama periode konsesi. Pembayaran disesuaikan secara berkala (biasanya tahunan) diindeks dengan inflasi (Indeks Harga Konsumen), pergerakan nilai tukar yang mempengaruhi peralatan/material impor, dan fluktuasi biaya energi. Pengurangan kinerja berlaku untuk gangguan layanan, ketidakpatuhan kualitas air, atau pelanggaran kontraktual yang mendorong standar layanan tinggi.[2]


8. Standar teknis apa yang harus dipenuhi proyek air KPBU?
Proyek harus mematuhi standar teknis Indonesia (SNI 6774:2008 untuk pengolahan air), standar kualitas air (Permenkes 492/2010), regulasi lingkungan, kode konstruksi, dan praktik terbaik internasional. Persyaratan kualitas air mencakup kekeruhan <5 NTU, sisa klorin 0,2-0,5 mg/L, pH 6,5-8,5, nol bakteri coliform, dengan spesifikasi kontrak biasanya lebih ketat daripada minimum regulasi. Umur desain 25-30 tahun dengan redundansi yang tepat yang memastikan keandalan layanan 24/7.[3]


9. Apakah PDAM dapat berpartisipasi sebagai mitra swasta?
Ya, PDAM dapat berpartisipasi dalam KPBU melalui anak perusahaan komersial atau joint venture dengan mitra swasta, meskipun harus bersaing dengan penawar lain dalam kondisi setara. Beberapa proyek menggunakan PDAM sebagai counterpart kontrak (off-taker) yang membeli air olahan dari operator swasta, sementara yang lain menstrukturkan PDAM sebagai entitas pelaksana (PJPK) yang mengelola kontrak dengan mitra swasta. Pengaturan tergantung pada kapasitas kelembagaan PDAM, kesehatan keuangan, dan tujuan struktur proyek.[1]


10. Apa yang terjadi pada akhir periode konsesi?
Pengaturan Build-Operate-Transfer (BOT) mentransfer semua aset proyek kepada pemerintah (biasanya PDAM) pada akhir konsesi dalam kondisi operasi yang baik tanpa biaya. Mitra swasta menyelesaikan penilaian kondisi aset, mentransfer dokumentasi operasional, memberikan pelatihan kepada staf pemerintah, dan memastikan transisi yang lancar. Pemerintah kemudian mengoperasikan fasilitas secara langsung atau melalui tender operator baru. Pengaturan Build-Own-Operate (BOO) mempertahankan kepemilikan swasta dengan pemerintah membeli layanan tanpa batas waktu, meskipun kurang umum untuk layanan air esensial mengingat preferensi kepemilikan publik.[4]



Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPBU) merupakan modalitas pengadaan yang terbukti dan semakin banyak digunakan yang memungkinkan pemerintah daerah Indonesia untuk mempercepat pembangunan infrastruktur air minum dalam mengatasi kesenjangan akses kritis yang mempengaruhi 80% populasi yang tidak memiliki akses layanan air perpipaan serta defisiensi kualitas layanan yang mengganggu sistem yang ada dengan gangguan pasokan kronis dan masalah kualitas. Kerangka regulasi yang ditetapkan melalui Perpres 38/2015 dan Permen PUPR 2/2021 menyediakan landasan hukum komprehensif yang mengatur prosedur pengadaan, prinsip alokasi risiko, dan mekanisme dukungan pemerintah termasuk Viability Gap Funding (VGF) hingga 49% biaya proyek dan perlindungan risiko politik Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF) yang mengurangi kebutuhan premi risiko sektor swasta. Portofolio implementasi yang terus berkembang termasuk SPAM Umbulan yang beroperasi (4.000 L/detik, IDR 4,8 triliun), SPAM Jatiluhur (2.000 L/detik, IDR 1,8 triliun), dan berbagai proyek dalam tahap pengembangan dengan total komitmen investasi lebih dari IDR 20 triliun memvalidasi kelayakan komersial dan menetapkan templat replikasi untuk pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Kebutuhan investasi sebesar USD 300-800 per sambungan (IDR 4,95-13,2 juta) menghasilkan sistem air komprehensif yang mencapai IRR proyek 12-16% dan IRR ekuitas 16-22% yang mendemonstrasikan daya tarik bagi modal swasta sambil mempertahankan affordabilitas tarif melalui mekanisme dukungan pemerintah.[1]


Rekomendasi strategis untuk pemerintah daerah yang mengevaluasi infrastruktur air KPBU mencakup melakukan studi kelayakan komprehensif yang menetapkan proyeksi permintaan, persyaratan teknis, analisis keuangan pendahuluan, dan kepatuhan regulasi yang mengonfirmasi kelayakan proyek sebelum inisiasi pengadaan; memastikan kesehatan keuangan PDAM dan kapasitas pembayaran melalui perbaikan operasional, penyesuaian tarif, dan program efisiensi yang menetapkan kelayakan kredit yang mendukung kewajiban availability payment; melibatkan konsultan transaksi dengan keahlian sektor air KPBU yang memberikan panduan teknis, keuangan, dan hukum sepanjang proses pengadaan yang kompleks; menstrukturkan alokasi risiko yang tepat yang menyeimbangkan kemampuan publik dan swasta dengan pemerintah menahan risiko permintaan, risiko tarif, dan risiko politik sambil mentransfer risiko konstruksi dan operasional ke mitra swasta; mengamankan komitmen dukungan pemerintah termasuk alokasi pendanaan VGF, persetujuan jaminan IIGF, pengadaan lahan, dan fasilitasi regulasi sebelum keterlibatan pasar yang memberikan keyakinan penawar; dan mempertahankan timeline realistis yang mengakui 4-6 tahun dari konsepsi proyek hingga permulaan layanan yang memerlukan komitmen politik berkelanjutan dan dukungan stakeholder sepanjang periode pengembangan yang panjang.[4]


Ke depan, sektor KPBU air Indonesia menunjukkan potensi pertumbuhan yang kuat yang didorong oleh defisit infrastruktur kronis yang memerlukan investasi IDR 300-500 triliun untuk mencapai target akses universal, keterbatasan fiskal daerah yang semakin membatasi kemampuan pengadaan publik tradisional, penurunan biaya modal swasta yang meningkatkan daya saing KPBU, dan perluasan program dukungan pemerintah termasuk peningkatan pendanaan VGF dan pembangunan kapasitas kelembagaan. Area pengembangan prioritas mencakup kota tingkat dua dengan populasi 500.000-2.000.000 yang menghadapi tantangan akses air akut namun kekurangan sumber daya untuk pengadaan konvensional, sistem air regional yang melayani beberapa pemerintah daerah yang mencapai skala ekonomi dan optimasi sumber air, serta kemitraan rehabilitasi PDAM yang ada untuk meningkatkan efisiensi operasional dan kualitas layanan melalui keahlian teknis sektor swasta. Sementara Indonesia mengejar Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ambisius termasuk akses air universal pada tahun 2030 dan memperkuat kerangka regulasi KPBU berdasarkan pengalaman implementasi, PPP air akan semakin berkontribusi terhadap tujuan pembangunan infrastruktur dengan memberikan layanan esensial yang meningkatkan kesehatan masyarakat, produktivitas ekonomi, dan kualitas hidup jutaan warga Indonesia.



Referensi dan Sumber Teknis

1. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Permen PUPR 2/2021 - Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Sistem Penyediaan Air Minum.
https://kpbu.kemenkeu.go.id/read/1192-1553/umum/kajian-opini-publik/infrastruktur-air-minum-untuk-masyarakat-indonesia


2. Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pembelajaran Pemberian Dukungan Kelayakan pada Proyek KPBU Sektor Air.
https://kpbu.kemenkeu.go.id/read/71-218/umum/kajian-opini-publik/lesson-learned-pemberian-dukungan-kelayakan-pada-proyek-kpbu-sektor-air-di-indonesia


3. Institut Teknologi Bandung. Gambaran Umum Kondisi SPAM Umbulan - Kajian Teknis.
https://digilib.itb.ac.id/assets/files/2022/MjAyMiBUUyBQUCBHQUxVSCBLVVNVTUFTVFVUSV9CQUIgNC5wZGY.pdf


4. Ahli KPBU Indonesia. KPBU SPAM di Indonesia: Peraturan Perundangan dan Isu Strategis.
https://www.ahlikpbuindonesia.or.id/berita-dan-kegiatan/kpbu-spam-di-indonesia-peraturan-perundangan-yang-mengatur-lingkup-kpbu-spam-isu-strategis/


5. Repositori Dokumen Scribd. Kerangka Acuan Prastudi Kelayakan KPBU Sektor Air Minum.
https://id.scribd.com/document/337366739/Kerangka-Acuan-Prastudi-Kelayakan-Kpbu-Sektor-Air-Minum-Clean


6. Universitas Diponegoro. Public-Private Partnership pada Sistem Penyediaan Air Minum - Studi Kasus PDAM Tirta Moedal.
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/jppmr/article/viewFile/43298/30816


7. Portal KPBU, Kementerian Keuangan. Perkembangan Proyek KPBU Sistem Penyediaan Air Minum Kota Pekanbaru.
https://kpbu.kemenkeu.go.id/berita/read/1471/perkembangan-proyek-kpbu-sistem-penyediaan-air-minum-spam-kota-pekanbaru


8. Repositori Dokumen Scribd. Buku Saku KPBU Update - Portofolio Proyek Komprehensif.
https://id.scribd.com/document/384454812/Buku-Saku-KPBU-Update-Desember-FA


9. Repositori Universitas Trisakti. Pemetaan Persoalan pada Tata Kelola Pelaksanaan Proyek KPBU SPAM Regional Jatiluhur.
https://www.repository.karyailmiah.trisakti.ac.id/documents/repository/tesis_wisely-yahya-tesis-pemetaan-persoalan-pada-tata-kelola-pelaksanaan-proyek-kerjasama-pemerintah-dan-badan-usaha-kpbu-spam-regional-jatiluhur-tahap-i.pdf


10. PT Pembangunan Perumahan (Persero). Proyek KPBU Sistem Penyediaan Air Minum Jatiluhur 1.
https://www.ptpii.co.id/index.php/proyek-kpbu-sistem-penyediaan-air-minum-jatiluhur-1


11. Kementerian Pekerjaan Umum (PUPR). Terobosan Fasilitas PDF sebagai Upaya Menghadapi Tantangan di Sektor Air Minum.
https://kpbu.kemenkeu.go.id/read/1195-1576/umum/kajian-opini-publik/terobosan-fasilitas-pdf-sebagai-upaya-menghadapi-tantangan-di-sektor-air-minum


12. PDAM Tirta Anoa Kota Kendari. Prakualifikasi BUP KPBU - Panduan Pengadaan.
https://pdamkotakendari.com/detail?menu_id=56


13. Direktorat Pembiayaan, Kementerian PUPR. Market Sounding Proyek KPBU SPAM Karian Serpong.
https://pembiayaan.pu.go.id/news/detail/70/Market-Sounding-Proyek-KPBU-Sistem-Penyediaan-Air-Minum-SPAM-Karian-Serpong


14. SIMPUL KPBU - PUPR. Profil Proyek dan Data Kinerja SPAM Umbulan.
https://simpulkpbu.pu.go.id/proyek/spam-umbulan


15. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pemerintah Resmikan Proyek Sistem Penyediaan Air Minum Bandar Lampung.
https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/675/pemerintah-resmikan-proyek-sistem-penyediaan-air-minum-bandar-lampung




SUPRA International


Layanan Konsultasi Transaksi dan Implementasi Infrastruktur Air KPBU

SUPRA International menyediakan layanan konsultasi transaksi dan dukungan implementasi komprehensif untuk proyek infrastruktur air Kemitraan Pemerintah-Swasta (KPBU) di seluruh pemerintah daerah dan perusahaan air minum Indonesia. Keahlian kami mencakup studi kelayakan dan pengembangan business case, strukturisasi keuangan dan optimasi VGF, desain alokasi risiko dan kerangka kontraktual, manajemen pengadaan dan dukungan evaluasi penawaran, desain teknis dan pengawasan engineering, fasilitasi kepatuhan regulasi dan persetujuan, strategi keterlibatan stakeholder dan komunikasi, serta manajemen proyek sepanjang fase konstruksi dan commissioning untuk pemerintah daerah, perusahaan air minum daerah (PDAM), dan pengembang sektor swasta yang mengejar proyek instalasi pengolahan air (IPA) KPBU dan sistem distribusi.


Mengevaluasi KPBU untuk pengembangan infrastruktur air kota Anda?
Hubungi SUPRA International untuk mendiskusikan penilaian kelayakan, strukturisasi keuangan, dukungan aplikasi VGF, strategi pengadaan, kerangka alokasi risiko, bantuan negosiasi kontrak, dan konsultasi transaksi lengkap dari konsepsi proyek hingga financial close dan implementasi untuk inisiatif infrastruktur air KPBU Indonesia




Share:

← Previous

Jika Anda menghadapi tantangan dalam air, limbah, atau energi, SUPRA siap mendukung. Tim kami membantu meningkatkan keandalan, memastikan kepatuhan, meningkatkan efisiensi, dan mengendalikan biaya. Bersama, kita menentukan fase layanan lifecycle yang paling sesuai untuk kebutuhan proyek Anda.