
Momen Surya Indonesia: Masalahnya Bukan Mataharinya, Tapi Kita
Momen Surya Indonesia: Masalahnya Bukan Mataharinya, Tapi Kita
Matahari tidak pernah jadi masalah. Ia terbit di atas Indonesia 365 hari setahun, murah hati dan tak kenal lelah. Yang kurang bukan sinarnya, tapi keberanian, literasi, dan sedikit imajinasi.
Tanya pemilik pabrik di Jawa Barat soal panel surya di atap, jawabannya sering sama: “Terlalu mahal. Terlalu rumit. Nanti saja.” Padahal ini 2025, bukan 1995. Panel sekarang lebih murah, lebih ringan, dan lebih efisien. Ada yang balik modal kurang dari lima tahun. Namun mitos itu tetap hidup. Kita masih menganggap surya barang mewah untuk pencinta lingkungan, bukan alat bisnis yang bisa menghemat biaya dan menarik pelanggan.
Ini bukan tuduhan. Ini soal pola pikir. Dan pola pikir butuh waktu untuk berubah. Indonesia sudah lama dimanjakan listrik fosil yang murah. Ketika listrik terasa cukup dan terjangkau, kenapa repot naik ke atap pasang panel? Tapi zaman berubah. Biaya energi pelan-pelan naik. Pembeli global mulai bertanya jejak karbon pemasok. ESG bukan lagi istilah Barat. Ia tertulis di kontrak ekspor Anda.
Teknologinya sudah siap. Generasi terbaru panel surya bisa lebih awet daripada beberapa mesin pabrik. Skema pembiayaan juga sudah ada. Model sewa, skema tanpa biaya awal, solar as a service, perjanjian jual beli listrik. Bank mulai membuka jalur kredit hijau. Yang hilang hanya pemicunya. Harus ada yang bergerak lebih dulu.
Di sinilah sektor swasta mesti memimpin. Insentif pemerintah membantu, tapi tidak bisa mengubah hati. Orang percaya pada apa yang mereka lihat. Saat sebuah kawasan industri menutup atap gudangnya dengan panel dan laporan tagihan listriknya turun 20 persen, tetangga akan memperhatikan. Saat sebuah mal menurunkan beban puncak siang hari dengan surya dan memamerkannya di laporan tahunan, para penyewa akan bertanya bagaimana caranya. Pola pikir berubah lewat contoh, bukan perintah.
Kita juga harus jujur. Ini tidak akan terjadi semalam. Literasi energi masih rendah. Banyak pemilik usaha berpikir dalam laporan kuartalan, bukan hitungan balik modal lima tahun. Tapi itu sebabnya kita butuh pemimpin bisnis, bukan sekadar pemilik bisnis. Pemimpin berani bertaruh pada masa depan. Mereka melihat risiko, tapi juga melihat cahaya.
Indonesia punya sinar matahari. Punya teknologi. Punya modal. Yang dibutuhkan hanya segelintir penggerak berani untuk membuktikan bahwa surya bukan amal, bukan pula politik iklim. Ini keunggulan kompetitif yang menunggu untuk diambil. Pertanyaannya sederhana. Mau menunggu orang lain naik ke atap lebih dulu, atau Anda yang melakukannya?
Share:
Jika Anda menghadapi tantangan dalam air, limbah, atau energi, SUPRA siap mendukung. Tim kami membantu meningkatkan keandalan, memastikan kepatuhan, meningkatkan efisiensi, dan mengendalikan biaya. Bersama, kita menentukan fase layanan lifecycle yang paling sesuai untuk kebutuhan proyek Anda.