EN / ID
About Supra

Source Vulnerability Assessment (SVA) di Bidang Air untuk Keberlanjutan Bisnis

Category: Air
Date: Sep 4th 2025
Source Vulnerability Assessment di Bidang Air untuk Keberlanjutan Bisnis

Air merupakan input fundamental bagi hampir seluruh aktivitas bisnis. Mulai dari industri makanan dan minuman, tekstil, pertambangan, konstruksi, layanan kesehatan, hingga pusat data, semua bergantung pada akses air yang aman, andal, dan berkelanjutan. Keandalan pasokan air berkaitan langsung dengan keberlangsungan operasional dan daya saing. Dalam konteks saat ini, ketika perusahaan menghadapi tuntutan kepatuhan ESG, transparansi rantai pasok, serta kebutuhan untuk memperkuat ketahanan iklim, kemampuan melakukan source vulnerability assessment (SVA) di bidang air tidak lagi hanya sekadar kewajiban teknis, tetapi menjadi kebutuhan strategis.

SVA dapat dipahami sebagai evaluasi sistematis terhadap risiko yang berpotensi mengganggu ketersediaan, kualitas, atau keberlanjutan sumber air yang digunakan perusahaan. Bagi dunia usaha di Indonesia, di mana variabilitas iklim, pertumbuhan kawasan industri, dan urbanisasi yang cepat menimbulkan tekanan besar terhadap sumber daya air, SVA menjadi langkah penting untuk memastikan kepatuhan regulasi sekaligus ketahanan jangka panjang.

Tahap pertama dalam SVA adalah melakukan pemetaan terhadap seluruh sumber air yang dimanfaatkan bisnis. Sumber tersebut bisa berupa sumur air tanah, jaringan PDAM, pengambilan air permukaan dari sungai atau waduk, maupun suplai curah dari pihak ketiga. Setiap sumber harus terdokumentasi dengan informasi terkait volume, variabilitas musiman, kondisi infrastruktur, serta kerangka regulasi yang mengaturnya. Sebagai contoh, perusahaan minuman mungkin bergantung pada akuifer dalam, sedangkan pabrik tekstil memanfaatkan air permukaan dari sungai terdekat. Inventarisasi ini menjadi dasar untuk analisis risiko berikutnya.

Langkah kedua adalah mengidentifikasi potensi bahaya yang dapat memengaruhi ketersediaan maupun kualitas air. Bahaya ini bisa bersifat alami seperti kekeringan, banjir, atau intrusi air laut, maupun berasal dari aktivitas manusia seperti pencemaran industri, limpasan pertanian, atau tekanan dari ekspansi perkotaan. Analisis ini perlu mencakup data historis sekaligus proyeksi ke depan, khususnya yang terkait dengan perubahan iklim. Misalnya, sebuah perusahaan yang bergantung pada air sungai mungkin menghadapi risiko peningkatan pencemaran akibat aktivitas industri di hulu, sementara fasilitas yang bergantung pada air tanah mungkin terancam penurunan debit karena eksploitasi berlebih di kawasan sekitarnya.

Tahap ketiga adalah menilai tingkat paparan (exposure) dan kerentanan (vulnerability). Paparan mengukur seberapa besar kemungkinan suatu sumber air terdampak oleh bahaya yang teridentifikasi. Kerentanan menilai sejauh mana operasi bisnis akan terganggu apabila bahaya tersebut terjadi. Sebagai contoh, jika sebuah pabrik hanya memiliki satu sumur bor tanpa sumber cadangan, sementara data menunjukkan debit akuifer menurun, maka tingkat kerentanannya tinggi. Sebaliknya, sebuah kawasan industri yang memiliki pasokan dari PDAM sekaligus reservoir internal memiliki tingkat kerentanan yang lebih rendah meskipun tetap terekspos risiko kekeringan. Analisis ini memerlukan pemahaman teknis sekaligus wawasan operasional, karena bahaya yang sama bisa memberi dampak berbeda pada fasilitas yang berbeda tergantung pada redundansi, kapasitas penyimpanan, dan kemampuan pengolahan air.

Tahap keempat adalah merancang langkah mitigasi. Setelah kerentanan diidentifikasi, perusahaan perlu mengembangkan strategi untuk mengurangi risiko. Strategi ini bisa mencakup diversifikasi sumber, investasi pada sistem daur ulang air, peningkatan kapasitas instalasi pengolahan, atau keterlibatan dalam program pengelolaan daerah aliran sungai bersama para pemangku kepentingan lokal. Misalnya, perusahaan makanan dapat memasang sistem pemanenan air hujan untuk mengurangi ketergantungan pada PDAM di musim kemarau. Perusahaan tambang dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk menjaga kawasan tangkapan air, sehingga pasokan terjaga baik untuk kebutuhan industri maupun rumah tangga. Banyak langkah mitigasi ini juga membawa manfaat efisiensi biaya, karena pengurangan konsumsi air biasanya sejalan dengan pengurangan konsumsi energi untuk pemompaan dan pengolahan.

Melaksanakan SVA juga memberi manfaat strategis di luar manajemen risiko. Investor semakin sering meminta pengungkapan risiko air dalam laporan ESG. Pembeli global, khususnya di sektor tekstil dan pangan, mensyaratkan pemasok menunjukkan praktik pengelolaan air yang baik. Regulator dapat memperketat izin bagi industri yang menggunakan akuifer dengan tekanan tinggi. Perusahaan yang mampu menunjukkan pendekatan proaktif terhadap manajemen sumber air akan lebih mudah mendapatkan akses modal, mempertahankan izin operasi, dan memenangkan kontrak. Sebaliknya, perusahaan yang tidak mampu membuktikan pemahaman atas kerentanannya akan menghadapi risiko reputasi dan konsekuensi finansial.

Khusus di Indonesia, di mana tantangan air sangat bervariasi antarwilayah, SVA dapat digunakan untuk mendukung keputusan investasi jangka panjang. Perusahaan yang berencana membangun fasilitas baru perlu menilai bukan hanya tenaga kerja, infrastruktur, dan logistik, tetapi juga ketahanan sumber air di lokasi tersebut. Kawasan industri yang memiliki pasokan air andal dan dikelola secara berkelanjutan akan lebih menarik dibanding kawasan dengan risiko pasokan tidak pasti, meskipun biaya awal lebih rendah. Mengingat proyeksi iklim menunjukkan peningkatan variabilitas curah hujan, penilaian air ke depan menjadi sama pentingnya dengan studi kelayakan finansial.

Pelaksanaan SVA memerlukan kolaborasi lintas disiplin. Ahli hidrologi, insinyur, pakar lingkungan, dan perencana bisnis harus bekerja bersama untuk memastikan analisis teknis yang akurat sekaligus relevansi strategis. Alat bantu seperti pemetaan GIS, pemodelan neraca air, dan matriks penilaian risiko dapat memberi gambaran kuantitatif. Namun, sama pentingnya adalah keterlibatan dengan pemangku kepentingan seperti pemerintah daerah, PDAM, dan masyarakat sekitar. Karena sumber air sering kali digunakan bersama, maka risikonya juga bersifat bersama, dan perusahaan yang tidak berkolaborasi mungkin akan menemukan upaya mitigasinya tidak efektif.

Pada akhirnya, SVA bukanlah kegiatan sekali jalan, melainkan proses yang berkesinambungan. Kondisi sumber daya air berubah seiring waktu karena permintaan meningkat, regulasi berkembang, dan dampak perubahan iklim semakin terasa. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengintegrasikan SVA dalam kerangka manajemen risiko, memperbarui secara berkala, serta menghubungkan hasil penilaian dengan keputusan investasi dan operasional. Dengan begitu, perusahaan dapat beralih dari pola manajemen krisis reaktif menjadi pembangunan ketahanan proaktif.

Bagi dunia usaha di Indonesia, pesannya jelas. Keamanan air berarti keamanan bisnis. Melakukan source vulnerability assessment secara sistematis memungkinkan perusahaan memahami risiko, merancang strategi mitigasi, serta menyesuaikan diri dengan tuntutan investor, regulator, dan konsumen. Dalam perekonomian yang semakin bergantung pada fondasi berkelanjutan, air bukan sekadar sumber daya alam, melainkan aset strategis. Mengelola kerentanan sumber air menjadi kunci untuk menjaga daya saing dan keberlangsungan pertumbuhan bisnis.




 

Share:

← Previous Next →

Jika Anda menghadapi tantangan dalam air, limbah, atau energi, SUPRA siap mendukung. Tim kami membantu meningkatkan keandalan, memastikan kepatuhan, meningkatkan efisiensi, dan mengendalikan biaya. Bersama, kita menentukan fase layanan lifecycle yang paling sesuai untuk kebutuhan proyek Anda.